BERANDA.CO – Telinga Anda barangkali dipenuhi lagu-lagu instrumental. Coltrane, Evans, atau musisi jazz Blue Note lainnya. Tapi yang satu ini mungkin berbeda; Murphy Radio –trio math-rock asal Samarinda, Kalimantan Timur.
Tiga nomor yang termaktub dalam album pendek mereka bertajuk Naftalena (2016), berhasil membuat siapapun larut dalam suasana. Mendengarkan keseluruhan komposisi di Naftalena tak ubahnya seperti sedang menyaksikan film-film garapan Spike Jonze.
Anda bisa dibuat tertawa karena memori-memori indah yang pernah sekelebat lewat di kepala, juga dapat dibikin merenung dengan pelbagai kesalahan, penyesalan, maupun kesedihan yang sempat singgah dan meninggalkan lubang yang cukup dalam.
Pada akhirnya, dari segala pertempuran yang Anda alami, semuanya bermuara di satu titik: keyakinan bahwa Anda laik bahagia, entah hari ini maupun esok nanti. Klise, memang. Tapi, bukankah hidup terkadang banyak dipenuhi hal-hal yang klise?
Lagu-lagu Murphy Radio yang ada di Naftalena mampu mengolah segala perasaan tersebut dengan baik. Anda akan merasa sendu ketika mendengar “Gales the Stargazer”. Kemudian “Wheatfield with Cypresses” seperti mengajak Anda menengok kembali ke belakang untuk sekadar nostalgia mengenai lingkaran pertemanan yang menyenangkan hingga sosok mantan yang Anda rindukan.
Apa yang ditawarkan band ini lantas mendorong Anda untuk mewujudkan satu keinginan: menonton mereka secara langsung.
Happy Brilianto, manajer Murphy Radio, berkisah awalnya band ini memainkan musik alternatif, alih-alih math-rock seperti sekarang. Titik tolaknya terjadi setahun berselang, manakala vokalis Murphy Radio hengkang.
“Aku sama Wendra (gitaris, Red.) kemudian mendengarkan Chon (band math-rock asal Amerika, Red.). Dari situ, aku tanya ke Wendra, ‘Bisa enggak kira-kira main kayak gini?’,” terang Happy.
Akhirnya, sejak saat itu, Murphy Radio, yang beranggotakan Wendra (gitar), Aldi Yamin (bass), dan Akbartus Ponganan (drum), memantapkan langkah kakinya di jalur math-rock. Selain karena personel, faktor lain yang mendorong Murphy Radio pindah haluan ialah anggapan bahwa begitu banyak band yang membawa embel-embel math-rock, tetapi kenyataannya musik mereka sama sekali tidak mencerminkan warna math-rock.
Murphy Radio, ujar Happy, ingin mendobrak tradisi tersebut. Dari yang sebatas beredar di bar-bar lokal, tiba saatnya bagi Murphy Radio untuk melebarkan kepak sayapnya. Pada 2016, bersamaan dengan rilisnya Naftalena, mereka melangsungkan tur Jawa, yang meliputi delapan kota. Tur tersebut, jelas Happy, bisa dibilang “berhasil.”
“Orang-orang di scene Jawa jadi tertarik dan penasaran. Di waktu yang sama, exposure terhadap Murphy juga turut meningkat karena (materi-materi Murphy, Red.) sempat di-share sama Iga Massardi (Barasuara, Red.) dan Ditto Pradwito (Barefood, Red.) di media sosial,” imbuhnya.
Perlahan, nama Murphy Radio pun melambung. Meski demikian, kabar ketenaran Murphy Radio mesti dibarengi dengan mundurnya Akbar, sang drummer. Posisi Akbar lalu digantikan oleh Muhammad Amrullah. Menjelang 2018 tutup buku, Murphy Radio, dengan formasi barunya, memutuskan untuk masuk dapur rekaman.
Di titik ini, langkah krusial, lagi-lagi, diambil: musik Murphy harus dibikin easy listening agar cakupan audiensnya meluas. “Musik math-rock Murphy, memang, menarik banyak pendengar karena tergolong baru di Indonesia. Tapi, kami juga sadar bahwa kami enggak bisa terus segmented. Akhirnya, kami memutuskan untuk, katakanlah, men-downgrade musikalitas Murphy,” papar Happy.
Walaupun mengalami “penyesuaian”, karakter musik Murphy Radio tidak sepenuhnya berubah. Aldi mengaku bahwa musik baru Murphy Radio tetap berpijak pada math-rock, sebagaimana yang termuat dalam album pendek mereka. Bedanya, kali ini, Murphy berani menyelipkan napas pop dan lebih memilih untuk meleburkan dua elemen: midwest emo serta Japanese math-rock.
“Inspirasinya enggak jauh-jauh dari American Football, Toe, Elephant Gym, sampai Chon,” terangnya. “Ada nuansa twinkle, midwest emo, dan, tentunya, math-rock itu sendiri. Penginnya menggabungkan antara dimensi Barat dan Timur.”
Proses kreatif dipegang oleh Wendra. Alurnya kira-kira begini: Wendra menyusun pola dari gitar, untuk kemudian diserahkan kepada Aldi dan Amrullah. Dalam mencari lick yang tepat, Wendra, kata Aldi, bisa “bertapa selama seminggu” dan “datang sudah membawa tiga komposisi.”
Setelah memakan waktu cukup lama, album debut mereka pun jadi juga. Mengambil tajuk self titled, album penuh pertama Murphy Radio berisikan sepuluh komposisi serta dirilis oleh label asal Singapura, An Atmos Initiative. Keseluruhan track dalam album tersebut menggambarkan dengan baik apa yang diharapkan Aldi, ketika Murphy Radio berupaya mengkombinasikan warna math-rock dari Amerika dan Jepang.
Anda akan menjumpai pengaruh toe di album For Long Tomorrow (2009), yang melebur dengan Grow (2015) garapan Chon. Sepuluh nomor yang ada itu pula menjadi bukti betapa mahirnya Wendra, Aldi, dan Amrullah memainkan perkakasnya. Jemari Wendra meliuk dengan lincah dan membentuk melodi-melodi yang terdengar tajam. Cabikan bass Aldi begitu presisi. Dan pukulan drum Amrullah, secara konsisten, mampu mengimbangi solo-solo yang ada.
Kelindan-kelindan itulah yang membikin nomor-nomor macam “No Friends No Master,” “Blossoms and Paw,” “Hippo,” “Summertimes Loneliness,” sampai “Sports between Tranches” sungguh memukau sehingga Anda—mungkin—dapat menyimpulkan: untuk apa lagi Anda butuh Toe dan American Football jika sudah ada Murphy Radio? (*)