BERANDA.CO, Jakarta – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengungkap Rp215 triliun dana pemerintah daerah masih mengendap di bank. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menjelaskan sembilan faktor penyebab serapan APBD lambat.
Berdasarkan data kas daerah per 17 September 2025, tercatat dana pemerintah daerah yang masih mengendap di perbankan mencapai Rp215 triliun. Jumlah besar ini menunjukkan masih banyak ruang untuk mempercepat realisasi program pembangunan di daerah.
Tito menjelaskan, dana tersebut terdiri dari Rp64,95 triliun milik provinsi, Rp119,92 triliun milik kabupaten, dan Rp30,13 triliun milik kota.
“Di tingkat provinsi, yang terbesar adalah DKI Jakarta Rp19,48 triliun, diikuti Jawa Timur Rp5,79 triliun dan Kalimantan Selatan Rp5,3 triliun,” ungkap Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025, Senin (20/10/2025).
Selain tiga daerah tersebut, Kalimantan Timur juga masuk dalam daftar besar penyimpanan dana daerah, mencapai Rp4,96 triliun. Disusul Jawa Barat (Rp2,67 triliun), Sumatera Utara (Rp2,08 triliun), Sumatera Selatan (Rp1,86 triliun), dan Kalimantan Barat (Rp1,69 triliun).
Menurut Tito, dana besar yang tersimpan di bank mencerminkan rendahnya realisasi belanja daerah. Dari total anggaran APBD sebesar Rp1.017,42 triliun, baru Rp802,41 triliun yang terealisasi per 17 Oktober 2025 — atau kurang dari 80 persen.
Sembilan Faktor Dana Mengendap
Dalam paparannya, Tito membeberkan sembilan penyebab utama lambatnya serapan APBD:
- Kebijakan efisiensi dan penyesuaian APBD 2025 sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran (SE) Mendagri 900/833/SJ (23 Februari 2025), yang membuat sejumlah daerah menunda pelaksanaan APBD untuk menyesuaikan pendapatan dan belanja.
- Penyesuaian visi, misi, dan program kepala daerah baru pasca-pelantikan 20 Februari 2025, sebagaimana diatur dalam SE Mendagri 900/640/SJ (11 Februari 2025). Hal ini menyebabkan perubahan RKPD dan APBD sehingga pelaksanaan anggaran tertunda.
- Kendala administratif dalam proses pelaksanaan belanja barang dan jasa, belanja modal, bantuan sosial, dan subsidi.
- Peralihan sistem katalog elektronik dari versi 5 ke versi 6 yang menimbulkan kendala teknis seperti bug, error, serta kurangnya pemahaman SDM Pemda dalam penggunaannya.
- Pelaksanaan proyek fisik seperti pembangunan gedung, jalan, dan jaringan irigasi yang umumnya baru dimulai pada kuartal II–III, sehingga pembayaran termin baru dilakukan di akhir tahun.
- Kecenderungan realisasi belanja menumpuk di akhir tahun, akibat pengajuan pembayaran oleh pihak ketiga yang dilakukan menjelang tutup buku anggaran.
- Keterlambatan Kementerian/Lembaga pengampu dalam menetapkan petunjuk teknis atau petunjuk operasional Dana Alokasi Khusus (DAK).
- Proses pengadaan tanah dan sertifikasi yang dilakukan bersamaan dengan proyek fisik namun belum rampung hingga kini.
- Penundaan pembayaran iuran BPJS yang memerlukan waktu untuk proses rekonsiliasi dengan BPJS Kesehatan.
Selain faktor teknis, Tito juga menyebut adanya hambatan nonteknis, seperti dinamika pergantian pejabat daerah hingga sikap kehati-hatian kepala daerah dalam mencairkan anggaran.
“Memang dalam bekerja ada yang tidak sesuai target. Ada kepala daerah yang ingin mengganti kepala dinasnya, jadi uangnya ditahan dulu. Ada juga yang ingin membayar di akhir tahun, atau rekanan yang belum mau mencairkan dananya,” tandas Tito. (red)